Beranda | Artikel
Enam Ayat Tentang Tauhid
Jumat, 16 Oktober 2009

Suatu ketika, Syaikh Walid Saifun Nashr –hafizhahullah– mengisahkan bahwa pernah ada seseorang yang bertanya kepada Syaikh al-Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengenai kitab apa yang terbaik dalam masalah tauhid/akidah, maka beliau menjawab bahwa kitab terbaik dalam tauhid adalah Kitabullah atau al-Qur’an. Kisah ini mengingatkan kita tentang pentingnya mengkaji ilmu akidah dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an maupun as-Sunnah, dan agar kita tidak menempatkan rujukan apa pun selain keduanya sebagai sesuatu yang diagung-agungkan secara berlebihan.

Berkenaan dengan itu, pada kesempatan ini kami akan membawakan enam buah ayat yang dicantumkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di dalam Kitab Tauhid di awal-awal karya beliau tersebut dan pelajaran apa saja yang bisa dipetik darinya. Sehingga diharapkan sedikit banyak kita bisa memahami mengapa para ulama Ahlus Sunnah sedemikian tinggi menghargai karya beliau itu -tentunya sesuai dengan kedudukannya- dan juga untuk menepis tuduhan sebagian orang bahwa para ulama Wahabi -dalam istilah mereka- taklid buta kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan terlalu fanatik dengan kitab-kitabnya. Semoga Allah menerangi jalan kita untuk menggapai ridha dan cinta-Nya…

Ayat Pertama:
Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)

Di dalam ayat ini terkandung:

  1. Hikmah penciptaan jin dan manusia adalah untuk beribadah.
  2. Yang dimaksud beribadah adalah bertauhid (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 13). Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Sesungguhnya hakekat tauhid itu adalah mengesakan Allah Yang Maha Suci dalam beribadah.” (lihat Syarh Kasyfu asy-Syubuhat fi at-Tauhid, hal. 17 cet. Dar Jamilurrahman as-Salafy). Oleh sebab itu para nabi dan rasul serta pengikut mereka menjadikan dakwah tauhid sebagai dakwah yang paling utama dan paling diprioritaskan, sebagaimana disebutkan dalam kisah pengutusan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu seorang diri untuk berdakwah ke Yaman. Nabi memerintahkan Mu’adz, “Jadikanlah yang pertama kali kamu dakwahkan kepada mereka hendaknya mereka beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla. Apabila mereka telah mengenal Allah maka kabarkanlah bahwa Allah mewajibkan mereka untuk melakukan sholat wajib lima waktu setiap sehari semalam.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Muslim yang dicetak bersama Syarahnya [2/47-49]). Riwayat hadits ini menunjukkan bahwa tujuan utama diutusnya para da’i adalah untuk menyeru manusia agar beribadah kepada Allah semata dan supaya mereka tidak menyekutukan-Nya, dan itulah makna dari ma’rifatullah (mengenal Allah) yang sejati. Seorang tidak bisa disebut mengenal Allah selama dia belum mentauhidkan-Nya dalam beribadah, camkanlah hal ini… Faedah lain dari hadits Mu’adz bin Jabal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah, “Di dalam hadits ini terkandung pelajaran diterimanya hadits ahad dan wajib untuk mengamalkannya.” (Syarh Muslim li an-Nawawi [2/48]). Perhatikanlah ucapan emas beliau ini wahai orang-orang yang ingin ‘melanjutkan kehidupan Islam’… Apakah ketika hadits ahad itu diterima dan wajib diamalkan berarti tidak wajib meyakininya, sehingga sebagian orang berani (baca: ngawur) mengatakan bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagai dalil/hujjah dalam hal akidah [?!]. Alangkah aneh bin ajaib keyakinan mereka ini…
  3. Barangsiapa yang tidak mewujudkan tauhid maka ibadahnya tidak diterima atau tidak dianggap beribadah kepada Allah dengan sebenarnya (lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sebagaimana tertera dalam syarahnya al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 12 cet. Maktabah al-‘Ilmu 1411 H). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang memadukan rasa cinta yang sempurna untuk Allah dan puncaknya serta perendahan diri yang sempurna kepada Allah dan puncaknya. Adapun kecintaan yang tidak diiringi dengan perendahan diri tidak disebut ibadah, demikian pula perendahan diri yang tidak dilandasi dengan kecintaan juga bukan ibadah. Sesungguhnya yang dimaksud dengan ibadah itu hanyalah apabila terkumpul kedua hal itu dengan sempurna.” (dikutip dari Qurratul ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 3, lihat juga Mi’ataa Su’alin wa Jawabin fil ‘Aqidah oleh Hafizh al-Hakami, hal. 10, at-Tam-hid, hal. 13). Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Tidak dinilai sah amal-amal kecuali apabila disertai dengan sikap berlepas diri dari penyembahan kepada segala sesembahan selain Allah.” (Qurratul ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 4). Keterangan ini dilandasi oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam dibangun di atas lima perkara: Allah harus diibadahi dan segala sesembahan selain-Nya harus diingkari, mendirikan sholat, menunaikan zakat, menunaikan haji ke baitullah, dan berpuasa Ramadhan.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Islam dibangun di atas lima hal: Allah harus ditauhidkan, dst…” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/31-32]). Maka hadits ini merupakan bantahan bagi orang yang menganggap bahwa istilah tauhid adalah istilah baru yang dimunculkan oleh Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya, bahkan tauhid adalah istilah yang terbukti ada sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Maka perhatikanlah!!
  4. Yang menciptakan itulah yang berhak untuk diibadahi, maka di dalam ayat ini terdapat bantahan bagi orang-orang yang menyembah kepada berhala-berhala dan semacamnya
  5. Perbuatan Allah pasti mengandung hikmah (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 10 cet. al-Maktabah al-Islamiyah 2003)
  6. Orang yang tidak memahami tauhid sama artinya dengan orang yang tidak memahami tujuan hidupnya
  7. Mempelajari tauhid merupakan kebutuhan setiap orang, tua maupun muda, miskin maupun kaya, orang desa maupun kota, pria maupun wanita
  8. Segala sesembahan selain Allah adalah batil. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Segala sesuatu yang disembah selain Allah ta’ala adalah batil/sesembahan yang keliru…” (Syarh ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 34 cet. Dar al-Quds 1426 H)
  9. Di dalam ayat ini terkandung makna la ilaha illallah

Ayat Kedua:
Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36)

Di dalam ayat ini terkandung:

  1. Hikmah diutusnya para rasul (yaitu untuk mendakwahkan tauhid)
  2. Risalah berlaku umum untuk semua umat
  3. Agama para nabi adalah satu. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Tauhid itu merupakan agama segenap rasul yang diutus oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya.” Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Apabila kenyataannya seperti itu -yaitu segenap rasul menyerukan tauhid- maka seharusnya dakwah itu dilakukan untuk menyerukan pokok ini. Dakwah dilakukan untuk mengajak orang mentauhidkan Allah. Sebab dengan tauhid itulah hati menjadi baik dan amalan pun akan menjadi baik.” (Syarh Kasyfu asy-Syubuhat fi at-Tauhid, hal. 20). Syaikh Shalih juga menandaskan, “Maka barangsiapa yang tidak mentauhidkan Allah jalla wa ‘ala maka sesungguhnya dia telah mendustakan seluruh rasul. Dikarenakan semua rasul itu diperintahkan untuk -mengajak- bertauhid.” (Syarh Kasyfu asy-Syubuhat fi at-Tauhid, hal. 20).
  4. Peribadahan kepada Allah tidak bisa diwujudkan kecuali harus disertai dengan sikap kufur/mengingkari thaghut/sesembahan selain Allah
  5. Thaghut mencakup segala sesuatu yang disembah selain Allah (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 12 cet. Maktabah al-‘Ilmu 1411 H). Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah berkata, “Thaghut adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah dalam keadaan dia meridhai hal itu. Adapun orang-orang yang disembah selain Allah sedangkan mereka tidak merasa ridha atasnya seperti para rasul dan nabi-nabi maka mereka bukanlah thaghut sebab mereka tidak memerintahkan hal itu.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal.14)
  6. Misi dakwah para rasul serta para pengikut setia mereka adalah mengajak untuk bertauhid dan memberantas syirik. Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah berkata, “Hakekat syirik itu adalah memalingkan salah satu jenis ibadah kepada selain Allah.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal.14)
  7. Tauhid merupakan kewajiban semua orang
  8. Tauhid memadukan antara penolakan sesembahan selain Allah dan penetapan bahwa hanya Allah sesembahan yang benar, tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 10 cet. al-Maktabah al-Islamiyah 2003)
  9. Ayat ini merupakan penjelas makna ayat di atas (QS. adz-Dzariyat: 56), sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Shalih alu Syaikh dalam at-Tam-hid (hal. 14)
  10. Di dalam ayat ini terkandung makna la ilaha illallah

Ayat Ketiga:
Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Rabbmu memerintahkan kepadamu; agar kamu tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan berbaktilah kepada kedua orang tua.” (QS. al-Israa’: 23)

Di dalam ayat ini terkandung:

  1. Hak Allah adalah hak paling penting yang harus ditunaikan. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Apabila seorang manusia melalaikan hak yang satu ini maka sesungguhnya dia telah melalaikan hak yang paling agung yaitu mentauhidkan Allah ‘azza wa jalla.” (Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41 cet. Dar ats-Tsurayya 1417 H). Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “…Sesungguhnya mengagungkan Allah adalah dengan merealisasikan tauhid. Barangsiapa yang mewujdukan tauhid berarti dia telah mengagungkan-Nya. Dan barangsiapa yang menyia-nyiakan tauhid maka sesungguhnya dia telah menyia-nyiakan hak Allah, meskipun sujud telah membekas di dahinya, walaupun puasa telah meninggalkan bekas di kulit yang membungkus tulangnya. Maka itu semua tidak ada artinya…” (Syarh Kasyfu asy-Syubuhat fi at-Tauhid, hal. 4)
  2. Betapa agungnya hak kedua orang tua, sehingga Allah iringkan penyebutannya setelah menyebutkan hak-Nya atas hamba-hamba-Nya
  3. Tauhid adalah perintah yang paling agung di dalam Islam. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah (baca: da’i) agar memulai dakwah dengannya.” (Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41 cet. Dar ats-Tsurayya 1417 H)
  4. Wajibnya menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah
  5. Batilnya sesembahan selain Allah
  6. Kewajiban untuk berbakti kepada kedua orang tua
  7. Haramnya durhaka kepada orang tua (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 12 cet. Al-Maktabah al-Islamiyah 2003)
  8. Di dalam ayat ini terkandung makna la ilaha illallah

Ayat Keempat:
Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nisaa’: 36)

Di dalam ayat ini terkandung:

  1. Menyembah Allah tidak cukup jika tidak diiringi dengan meninggalkan syirik
  2. Syirik menyebabkan batalnya amalan
  3. Larangan melakukan syirik merupakan larangan yang paling besar
  4. Tidak boleh mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun
  5. Menjauhi syirik merupakan syarat sah ibadah (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 13 cet. al-Maktabah al-Islamiyah 2003, lihat juga keterangan serupa dalam Qurratul ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 6). Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ibadah tidak bisa disebut ibadah kecuali apabila dibarengi dengan tauhid, sebagaimana halnya sholat tidak bisa disebut sholat kecuali dibarengi dengan thaharah. Sehingga apabila syirik masuk ke dalam suatu ibadah niscaya ibadah itu menjadi rusak sebagaimana hadats yang masuk pada thaharah.” Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya dipersyaratkannya ikhlas dan tauhid untuk diterimanya ibadah jelas lebih agung daripada dipersyaratkannya thaharah untuk diterimanya sholat. Sebab seandainya ada orang yang secara sengaja mengerjakan sholat dalam keadaan berhadats maka perihal pengkafiran orang ini masih terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Adapun mengenai orang yang beribadah kepada Allah dalam keadaan musyrik maka mereka semua sepakat bahwa ibadahnya tidak diterima, dan bahkan berdasarkan ijma’ dia digolongkan sebagai orang kafir disebabkan dia telah mempersekutukan Allah jalla wa ‘ala -yaitu syirik akbar- yang menyebabkan amal menjadi tidak bisa diterima karena keberadaannya.” (Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 5 cet. Dar Jamilurrahman as-Salafy 1424 H). Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa disertai dengan keikhlasan (baca: tauhid) maka ibadahnya tidak sah. Hal ini didasarkan dengan firman Allah ta’ala dalam hadits qudsi, “Aku adalah Dzat yang paling tidak memerlukan sekutu. Maka barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan-Ku dengan selain-Ku niscaya akan Kutinggalkan dia dengan kesyirikannya.” (HR. Muslim).” (Shifat as-Sholah, hal. 25 cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah 1424 H)
  6. Wajibnya mempelajari syirik
  7. Di dalam ayat ini terkandung makna la ilaha illallah yaitu beribadah kepada Allah dan tidak berbuat syirik. Hal itu sebagaimana telah ditafsirkan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya mengenai makna Islam, maka beliau menjawab, “Islam adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kamu dirikan sholat wajib, kamu tunaikan zakat yang wajib -dikeluarkan-, dan kamu berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [2/19-20] cet. Dar Ibnu al-Haitsam 2003)

Ayat Kelima:
Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah: marilah akan kubacakan kepada kalian sesuatu yang diharamkan oleh Rabb kalian kepada kalian, janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-An’am: 151)

Di dalam ayat ini terkandung:

  1. Penetapan halal dan haram adalah hak Allah
  2. Syirik merupakan keharaman yang paling besar (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 16 cet. al-Maktabah al-Islamiyah 2003)
  3. Segala sarana yang menjerumuskan kepada syirik juga diharamkan
  4. Disyari’atkan untuk menjelaskan perkara-perkara yang diharamkan untuk dijauhi
  5. Di dalam ayat ini terkandung konsekuensi ucapan la ilaha illallah

Ayat Keenam:
Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanannya dengan kezaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. al-An’am: 82)

Di dalam ayat ini terkandung:

  1. Kezaliman menyebabkan iman bisa berkurang, bahkan bisa hilang
  2. Iman merupakan sumber ketentraman
  3. Kezaliman sumber kesengsaraan dan rasa takut
  4. Iman yang sempurna menuntut peniadaan kezaliman pada diri pemiliknya
  5. Kezaliman bisa berkumpul dengan keimanan dalam diri seseorang
  6. Syirik termasuk kezaliman, bahkan ia merupakan kezaliman terbesar
  7. Keamanan dan hidayah yang diperoleh tergantung pada iman dan kebersihan diri dari dosa kezaliman. Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah berkata, “Seorang mukmin apabila dia terbebas dari syirik besar dan kecil serta perbuatan zalim kepada sesama hamba maka dia akan memperoleh hidayah yang sempurna dan keamanan yang sempurna di dunia dan di akherat. Adapun, apabila dia terbebas dari syirik akbar namun tidak bersih dari syirik kecil dan sebagian dosa yang lain maka hidayah yang diperolehnya tidak sempurna, begitu pula keamanan yang dirasakannya tidak sempurna, bahkan bisa jadi dia masuk ke dalam neraka akibat kemaksiatan yang dia meninggal di atasnya (dan belum bertaubat darinya, pent).” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 19-20, lihat juga penjelasan serupa dari Syaikh Shalih alu Syaikh dalam at-Tam-hid, hal. 25)
  8. Syirik merupakan sumber kekhawatiran di dunia maupun di akherat (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 22 cet. al-Maktabah al-Islamiyah 2003)
  9. Ikhlas adalah kunci ketentraman dan hidayah.
  10. Kezaliman merupakan penghalang hidayah
  11. Perintah untuk berbuat adil
  12. Tauhid merupakan bentuk keadilan, bahkan ia merupakan keadilan yang paling adil.
  13. Besarnya kebutuhan umat manusia kepada tauhid. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Setiap kali keberadaan sesuatu semakin bermanfaat bagi hamba sementara kebutuhan dirinya kepada hal itu sangatlah besar maka rasa sakit akibat kehilangannya juga semakin menyakitkan…” (ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 223 cet Dar al-‘Aqidah 1423 H)
  14. Ayat ini menunjukkan keagungan kandungan kalimat la ilaha illallah dan pengaruhnya yang demikian besar bagi kebahagiaan manusia
  15. Hidayah berasal dari Allah ta’ala
  16. Keutamaan ikhlas dan semestinya kita berjuang keras untuk meraihnya. Oleh sebab itu kita dapati banyak riwayat dari ulama salaf yang menunjukkan betapa mereka berusaha untuk menyembunyikan amal-amal mereka karena hal itu dapat menyempurnakan keikhlasan dalam diri mereka. Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah menceritakan, “Sesungguhnya mereka dahulu -ulama salaf- apabila sedang berkumpul maka mereka tidak suka apabila seorang -di antara mereka- harus mengeluarkan cerita terbaik yang dia alami atau -mengeluarkan- perkara terindah yang ada pada diri mereka.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dalam az-Zuhd, dinukil dari Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbabi Tafadhul al-A’mal, hal. 53 cet. Dar al-Imam Ahmad 1428 H). al-A’masy rahimahullah mengatakan, “Suatu saat Hudzaifah menangis di dalam sholatnya. Setelah selesai maka beliau berbalik dan ternyata ada orang di belakangnya maka beliau pun berkata, ‘Jangan kamu beritahukan hal ini kepada siapapun’.” (Diriwayatkan oleh al-Hasan ad-Dharrab dalam Dzamm ar-Riya’, dinukil dari Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbabi Tafadhul al-A’mal, hal. 53 cet. Dar al-Imam Ahmad 1428 H). Muhammad bin Wasi’ rahimahullah menceritakan, “Dulu ada seorang lelaki yang biasa menangis selama dua puluh tahun lamanya sementara istri yang mendampinginya sama sekali tidak mengetahui hal itu.” (Diriwayatkan oleh al-Hasan ad-Dharrab dalam Dzamm ar-Riya‘, dinukil dari Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbabi Tafadhul al-A’mal, hal. 53 cet. Dar al-Imam Ahmad 1428 H).

Demikianlah beberapa pelajaran berharga dari keenam ayat di atas, semoga bermanfaat bagi kehidupan kita dan menambahkan iman ke dalam diri kita. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Yogyakarta, 28  Syawwal 1430 H
Hamba yang sangat membutuhkan Rabbnya

Abu Mushlih Ari Wahyudi
-Semoga Allah mengampuninya dan segenap umat Islam-


Artikel asli: http://abumushlih.com/enam-ayat-tentang-tauhid.html/